Kisah Lembah Hijau #2



Cerpen : Hitam diatas Putih

Sepanjang perjalanan Yogi tak sama sekali mengajak bicara Latifa. Bahkan Yogi merasa sangat sebal dengan Latifa. Sesekali Yogi melirik perempuan di sampingnya itu dengan pandangan sinis dan enggan.
‘Kampungan banget sih cara berpakaian nih cewek, hmm bisa membuat aku malu, namanya Latifa, norak banget, kampungan!’ Yogi tak berhenti mengumpat dalam hati. Latifa yang memakai rok panjang denga atasan gamis, serta rambut dikuncir satu, tanpa memakai hiasan apapun, membuat Yogi tak suka. Yogi sesungguhnya pria yang baik namun karena ia anak terakhir dan keluarganya terbiasa menuruti apapun permintaannya, menjadikannya sedikit manja.
“Kita sudah sampai, ini rumahku, Latifa.” Yogi sedikit  ber basa-basi.
“Ifa, panggil saja Ifa,” ucap Latifa.
“Ya. Masuklah,” ajak Yogi. Melihat langkah Ifa yang lamban membuat Yogi gregetan, “Ayolah cepat sedikit, aku tak enak jika ada tetangga yang melihat,” kata Yogi lagi. Ifa pun berusaha cepat tapi karena tiga barang bawaannya cukup berat membuat langkahnya melambat. Ifa masuk ke rumah dinas suaminya itu untuk pertama kalinya. Yogi tinggal di sebuah rumah dinas di sebuah asrama tentara. Yogi merupakan seorang tentara berpangkat Sertu. “Ini kamarmu Ifa. Aku harap kamu tak salah paham dengan pernikahan ini, dengan menyetujui keputusan orangtuaku untuk menikahimu bukan berarti aku setuju untuk hidup denganmu,” ucap Yogi ketus.
“Iya aku mengerti Mas.” Ifa mendesah, mengerti posisinya. Kemudian masuk ke sebuah kamar berukuran kecil di sebelah kamar Yogi, ia meletakkan barang-barangnya di kamar berukuran 3x3 itu.
“Akhirnya aku mendapat tempat tinggal,” ucap Ifa senang. Terdengar Yogi dari kamar sebelah sedang menelpon seseorang. “Aku tahu ini perjodohan yang terpaksa. Aku sadar diri dengan hal ini. Tak apa, aku harus bertahan sampai tiba waktunya.” Ifa menguatkan dirinya memulai sesuatu yang baru dalam hidupnya. Sebenarnya Ifa pun terpaksa mau menerima perjodohan dari orang tua Yogi, sepeninggalan ibunya, Ifa jadi tak mempunyai rumah tinggal, karena rumah tempat ia dulu tinggal juga sebuah rumah dinas. Ketika ayah Ifa meninggal, sebenarnya keluarganya pun sempat akan di usir dari rumah itu namun karena belas kasihan, maka Ifa dan ibunya pun diperbolehkan sementara tinggal di rumah itu. Kini sepeninggalan ibunya, Ifa bingung akan tinggal dimana lagi, kemudian orangtua Yogi pun datang membicarakan tentang pernikahan, Ifa berpikir jika ia menerima pernikahan itu, ia akan dapat rumah tinggal dan ia bisa melanjutkan kuliahnya yang hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum ia lulus kuliah. Lagipula Ifa tahu bahwa Yogi sangat menentang pernikahan itu, Ifa merasa itu suatu kebetulan karena jika ia tinggal bersama Yogi, Yogi yang tak menyukai keberadaannya tak mungkin menyentuhnya, sehingga ia bisa tenang tinggal di rumah Yogi itu sampai waktunya ia lulus kuliah dan akan mulai hidup mandiri.
***
Latifa mengetuk pintu kamar Yogi.
“Ya. Ada apa?” jawab Yogi dari dalam kamar.
“Bangun Mas, sudah pagi. Mas Yogi nggak dinas?” Tanya Ifa.
 Yogi keluar dari kamarnya. “Kamu tidak usah mencampuri urusanku, aku berangkat dinas atau tidak, bukan urusanmu,” kata Yogi dengan nada ketus. Pemuda berkulit sawo itu lantas berlalu ke arah kamar mandi. Setelah Yogi keluar dari kamar mandi, ia melirik heran di atas meja makan sudah tersedia sarapan untuknya.
“Ifa, kamu tak usah menyiapkan apa-apa, aku tak biasa sarapan pagi.”
“Sarapan pagi bagus Mas sebelum memuali aktivitas pagi hingga siang.” Ifa berusaha menerangkan, namun sayang, Yogi malah semakin menjadi marah.
“Kubilang tidak ya tidak!” Bentak Yogi.
 Ifa terdiam, sedikit mendesah kesal namun masih dalam garis kesabaran, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat, Ifa keluar keluar dengan selembar kertas dan sebuah pulpen.
“Aku ingin kita bicara sebentar Mas.” Ucapan Ifa sedikit menekan.
“Aku tak ada waktu!” balas Yogi acuh.
“Aku tahu Mas Yogi tak menghendaki pernikahan ini dan kehadiranku, aku tahu itu semua.” Ifa menyerahkan lembaran kertas dan pulpen kepada Yogi, “ Ini...”
“Apa maksudnya ini?” Tanya Yogi.
“Ini surat perjanjian pernikahan dan perpisahan kita.” Kata-kata Ifa semakin tegas, nada bicaranya pun tak gentar. Yogi tampak bingung.
“Mas Yogi tak usah khawatir, 6 bulan lagi aku lulus dari kuliahku, saat itu aku bersedia Mas Yogi menceraikan aku. Terserah apapun alasan perceraian itu, aku akan menyetujuinya.” Ifa meyakinkan lawan bicaranya.
“Kamu pikir dengan begitu masalah ini akan selesai? Lalu bagaimana dengan orangtuaku? Mereka sangat berharap dengan pernikahan ini. Jika aku menceraikanmu tanpa alasan yang jelas tentunya orangtuaku akan marah besar padaku,” ujar Yogi.
Ifa menghela sabar, guratan bibirnya mengatub sesaat, “Baiklah, saat perceraian itu, tuduhlah jika aku yang telah berselingkuh, sehingga orangtua Mas Yogi pasti akan menyetujui perceraikan itu.”
Yogi pun tampak berpikir, bola matanya mengisyaratannya.
“Mas Yogi tak usah khawatir. Aku tak akan meminta se-sen pun dari gajimu, aku tak akan mencampuri urusan pribadimu, aku hanya numpang hidup disini sampai saat itu tiba, Mas Yogi tak perlu menganggap aku istri. Mungkin, kalau Mas Yogi bersedia, anggaplah aku seorang... teman." Ifa memasang senyum persahabatan di wajahnya.
“Baiklah aku setuju dengan perjanjian ini.” Yogi menandatangani lembar kertas yang sebelumnya sudah di tandatangani Ifa.
“Ya. Aku sangat berterima kasih padamu Mas. Sebagai balasan atas kebaikan hatimu menerimaku di rumah ini, aku akan tetap melakukan pekerjaan rumah dan menyiapkan makan,” ucap Ifa sebelum ia mengambil kertas perjanjian itu dan masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar yang kecil itu, yang hanya terdapat sebuah kasur dan lemari, Latifa bersandar pada tembok dan menangis sedih, batinnya meringis pilu. “Ayah... kenapa ayah pergi secepat ini, selama ini aku dan ibu hidup menderita...” ucapnya sambil menghapus air matanya. Terasa kosong hidup tanpa kedua orang tuanya, ia harus berjuang sendiri demi kelangsungan hidupnya. “Ibu... Ibu juga meninggalkanku, aku merasa seperti sesuatu yang tak berharga di sini, tak ada yang sayang Ifa lagi. Ifa kangen ibu.” Latifa terisak duduk bersandar, semua terasa dingin dan membekukan keberadaannya. Tangisan Ifa tak berlangsung lama, ia menghela nafas panjang untuk membuang semua asanya dan menghapus air matanya. “Aku tak boleh begini. Aku harus kuat, harus bisa menjadi pribadi yang baru. Aku harus berusaha menjadi seorang teman yang baik buat Mas Yogi.” Ifa memotivasi dirinya sendiri, dengan menjalin tali pertemanan yang baik, setidaknya bisa memudahkannya melewati hari yang asing di rumah Yogi.
Sekitar jam setengah tiga, Yogi pulang dinas. Karena lokasi kantornya tak jauh letaknya dari asrama tinggalnya, Yogi pun memilih berjalan kaki bersama Dani, teman karibnya, apalagi mereka sama-sama satu litting.
“Gi, katanya kemarin kamu nikah, kok nggak ngundang-ngundang?” Tanya Dani.
“Ah, itu hanya acara keluarga saja kok Dan, cuma akad nikah.” Yogi nampak enggan membahas.
“Lalu mana istrimu sekarang?” Tanya Dani.
“Ya sekarang tinggal sama aku,” jawab Yogi.
“Sepertinya kamu tak senang dengan pernikahanmu itu, Gi?” Dani bisa membaca dari sikap dan cara bicara sahabatnya itu.
“Iyalah Dan, kan kamu tahu sendiri, aku masih pacaran dengan Renita. Lagipula aku dan Latifa, hmm... Ifa kan hanya dijodohkan, tak lama juga aku akan berpisah dengannya,” ujar Yogi enteng.
“Kok gitu Gi? gampang banget sih kamu main ceraikan anak orang, emang kenapa kamu tak menyukai istrimu itu?” Dani menatap heran sahabatnya.
“Ya, entahlah aku tak suka, gayanya jadul banget, nggak cocok ama seleraku.”
Dani menepuk pundak Yogi, ”Ah, semprul kamu Gi, padahal Renita menurutku standar-standar aja. Cuman karena ia memiliki rambut panjang lurus itupun hasil olahan salon, ya emang sih Renita itu modis.”
“Sembarangan aja kamu nilai cewekku, Dan. Kalau aku melepaskan Renita sekarang, gengsi lah. Dulu aja aku hampir berantem sama si Haris gara-gara memperebutkan Renita.”
“Hahaa, kamu kayak anak ABG aja Gi. Inget umur dong!” ledek Dani.
“Oh, ya, Dan, tapi ini rahasia ya... ” Yogi memelankan nada suaranya.
“Apaan?” Dani mulai penasaran.
“Hmm, sebenarnya... pernikahanku hanya 6 bulan saja,” bisik Yogi.
“Maksudnya gimana Gi?” Dani setengah melotot mencerna kata-kata Yogi.
“Aku dan Ifa sudah sepakat dalam sebuah perjanjian pernikahan hitam diatas putih, setelah 6 bulan pernikahan kami memutuskan akan bercerai,” bisik Yogi lagi.
“Gila kamu Gi, nikah kok dibuat permainan.” Dani menggeleng melihat tingkah Yogi. Tak berapa lama Yogi dan Dani pun sampai di depan rumah Yogi. “Gi tuh kok ada cewek di depan rumah kamu? cewek yang mana lagi tuh. Gila, baru kali ini liat cewek mulus banget, cantik banget.” Dani berdecak kagum. Yogi pun heran, Yogi dan Dani terusik rasa penasarannya untuk melihat lebih dekat ke arah perempuan yang berdiri di depan rumah Yogi itu. Perempuan berambut sebahu, pakai rok jeans pendek, kemeja fit body dan Wedges High Heels. Perempuan yang menjadi perhatian itu membalikkan tubuh dan membuat Yogi serta Dani terkejut.
“Eh, Mas Yogi sudah pulang,” ujar perempuan itu yang tak lain adalah Latifa.
“Ifa?” Yogi heran melihat sosok Ifa yang berbeda.
“Gi, itu istrimu? Gila cantik banget, kok kamu bisa bilang gaya dia jadul? modis gini kok di bilang jadul, ni sih artis asia. Aku heran sama seleramu Gi,” bisik Dani.
“Iya Mas, ini Ifa bingung mau nitipin kunci rumah sama siapa, soalnya Ifa mau pergi dulu Mas. Ada kuliah praktek sore.” Ifa mengambil kunci dari saku rok jeans pendeknya. “Kebetulan Mas Yogi sudah pulang, ini kunci rumahnya ya Mas.” Ifa menyerahkan kunci rumah pada Yogi.
“Hai Ifa, salam kenal ya. Aku Dani teman satu litting Yogi. Kamu istrinya Yogi ya?” Dani melancarkan aksi basa-basinya.
“Iya Mas Dani, salam kenal ya. Latifa. Oh, ya, Ifa adeknya Mas Yogi kok,” canda Ifa sembari tersenyum. Dani pun tertawa mendengar candaan gadis berhidung mancung di hadapannya.
“Ok deh, Ifa berangkat kuliah dulu ya Mas Dani, Mas Yogi. Bye-bye...” Ifa berlalu sambil melambaikan tangan dan tersenyum riang. Yogi tak sempat berkata apa-apa, bisa di bilang ia tertegun melihat sisi lain dari istri yang di nikahinya secara terpaksa.
Latifa menghentikan langkahnya, ia berbalik, “Oh, ya, Mas Yogi, Ifa pulang jam setengah 7 malam ya, lauknya di panasin jangan sampai basi lho,” teriak Latifa yang sudah berjalan cukup jauh. Ifa berusaha membuka lembaran pertemanan dengan Yogi, agar selama 6 bulan kedepan mereka tak saling ada beban karena hidup se-atap. Itu sebabnya Latifa berusaha untuk lebih akrab dengan Yogi.
“Gi, kalau kamu sudah resmi bercerai beritahu aku ya, hahahaa,” kata Dani sembari berjalan pergi untuk pulang ke rumahnya.
“Kutu Kupret kamu Dan, hahaa,” balas Yogi tertawa.
***
Tepat pukul 18.30 Latifa tiba di rumah.
“Assalamu Alaikum,” teriak Latifa, kemudian masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam," jawab Yogi dan Dani secara bersamaan.
“Malam Dek Ifa,” Sapa Dani sok cute.
“Dek???” Yogi membeo perkataan Dani, Yogi terkekeh karena Dani memanggil Ifa 'Dek Ifa'. “Ah kamu Dan, sok akrab kamu!” Ejek Yogi.
“Lho Mas Dani ada disini rupanya,” ujar Latifa ramah.
“Iya Dek Ifa, kebetulan TV di rumah rusak, jadi mau ikutan nonton TV disini, hehee.”
Yogi menyenggol Dani, “Ah, alasan aja kamu, Dan,” ejek Yogi lagi.
Ifa tertawa, “Mas Dani ini orangnya lucu.”
Dani cengengesan sambil menggaruk-garuk rambut di kepalanya.
“Yaudah Mas Dani, dilanjut deh nonton TV-nya, Ifa mau ke kamar dulu,” pamit Ifa.
“Oh, ya, Mas Yogi sudah makan?” Latifa menghentikan langkahnya sesaat. Ia berbalik.
“Iya sudah,” jawab Yogi canggung, Ifa tersenyum lalu masuk kamarnya.
Tak berapa lama Ifa pun keluar dari kamarnya menuju kamar mandi, sekitar 15 menit Ifa keluar dari kamarnya dengan rambut yang basah lalu masuk lagi ke kamarnya. Kemudian Ifa kembali keluar dari kamarnya dengan memakai celana jeans pendek dan t-shirt berlengan pendek sambil membawa Laptop. Ia menaruh Laptopnya di atas meja makan dan duduk sambil memainkan Laptop itu. Ifa berdiri dari tempat duduknya dan masuk lagi ke dalam kamar membawa sebuah buku.
Dani menyikut lengan Yogi, “Gi, kamu nggak pusing lihat cewek cantik mondar-mandir di rumahmu?” Bisik Dani.
“Ah, kamu berisik, yuk maen PS aja Dan,” Yogi mengalihkan pembicaraan.
“Dasar kamu Gi. Oh, ya, Gi, kok tadi siang kamu bilang Ifa dandanannya jadul? Kamu nggak sedang sakit mata kan Gi?” Bisik Dani lagi.
“Kemarin itu emang dandanannya jadul banget kok Dan, ala orang desa. Pakai rok kain panjang, atasannya juga. Aku juga nggak tahu.” Yogi mengambil stik PS sambil menekan tombol select.
“Mungkin pas kemarin itu Ifa hanya ingin berpenampilan sopan di depan orangtuamu saja kali Gi.”
Yogi mengangkat bahu. “Tau ah gelap,” timpal Yogi cuek.
Secara tiba-tiba, Ifa dari arah belakang menepuk pundak Yogi dan Dani. “Hayoooo lagi ngomongin apa nih bisik-bisik.” Suara Ifa mengagetkan keduanya, Yogi dan Dani spontan terhentak.
“Astagfirullah. Dek Ifa bikin kaget saja,” kata Dani sambil mengelus dada.
Latifa terkekeh, “Lagi ngomongin apa sih Mas, kayaknya serius banget.”
“Nggak ada apa-apa kok dek,” ujar Dani malu.
Alunan nada dering ponsel Yogi berbunyi. Latifa melirik, “Mas Yogi, tuh HP-nya bunyi, pasti dari yayang nih, hehee,” ledek Ifa.
“Ah, hmm, ya Fa,” jawab Yogi kaku, sebelum ia menuju kamarnya untuk mengangkat telepon yang memang dari Renita, kekasih Yogi.
“Dek Ifa sudah tahu Yogi punya pacar?” Tanya Dani bingung.
“Ooo, iyalah Mas, Ifa udah tahu kok.” Latifa tersenyum datar.
“Lalu... nggak ada persaan apa-apa gitu?” selidik Dani lagi.
“Perasaan apa Mas? Ifa sama Mas Yogi itu perasaannya seperti saudara aja,” ucap Ifa sembari tersenyum.
“Kok aneh, aku jadi bingung.” Dani mengerutkan dahinya.
Latifa tersenyum lebar, “Mas Dani nggak usah bingung. Ini, Mas Dani lagi main PS kan? yuk tanding lawan Ifa, maen bola ya.”
“Lho Dek Ifa bisa maen PS? ayo siapa takut. Mas Dani Juventus ya,” ujar Dani bersemangat, kemudian memberi stik PS satunya ke Ifa.
“Ifa pastinya... Barca!!” Teriak Ifa senang. Mereka berdua pun asik tanding PS.
Yogi melihat dari balik pintu kamarnya, Ifa dan Dani tertawa-tawa sambil maen PS. Yogi jadi bingung dengan kepribadian Ifa. Seperti apa kamu sebenarnya Ifa, pikir Yogi.
Sekitar jam 9 malam Dani baru pulang dari rumah Yogi. Ifa melanjutkan memainkan Laptopnya. Sementara Yogi sedang menonton TV sambil sekali kali SMS-an dengan Renita. Dan sesekali juga Yogi melirik Ifa yang serius menatap layar laptopnya.
“Ternyata Ifa orang yang baik, apakah kemarin aku keterlaluan,” pikir Yogi. Yogi berjalan ke arah meja makan dan duduk di depan Ifa.
“Sibuk apa Fa?” Tanya Yogi.
“Oh, ini Mas. Ifa sibuk catetin order,” jawab Ifa sambil tetap fokus pada layar monitor laptopnya.
“Order?”
Ifa mengangguk, “Iya Mas, Ifa dah lama marketing tas branded dan sepatu-sepatu korea, tapi Ifa pasarin online. Lumayan buat nambah-nambah uang kuliah Mas,” kata Ifa sembari tersenyum. Di tahun ini fashion korea masih sangat langka, itulah sebabnya bisnis Ifa sukses dipasarkan.
“Oh, gitu. Selama ini kamu kuliah dari hasil bisnis online itu ya?”
“Salah satunya, sebagian karena bea siswa. Tapi jika mengandalkan itu saja tak cukup. Kalau pas weekend atau liburan semester Ifa kerja sampingan.”
“Hmm. Oh, iya, Ifa, aku minta maaf ya atas kejadian kemarin, mungkin aku sudah keterlaluan.” Yogi tersenyum.
“Ah, nggak apa-apa Mas. Take easy aja kalau sama Ifa.” Ifa membalas hangat senyuman Yogi.
Yogi tertunduk sesaat lalu memandang Ifa dan berkata, “Hmm... Ifa, kita bisa mencoba beteman.” Ifa tersenyum lebar, senang karena Yogi sudah bisa menerima keberadaannya sebagai teman.
***
Pagi hari Yogi terbangun, ia melirik jam weker di meja sebelah tempat tidurnya. Ia kemudian bangun dan keluar kamar. Rumah sepi. Yogi melangkah ke kamar mandi. Matanya tertuju pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas.
“Mas Yogi. Ifa ada kuliah pagi, sarapan sudah Ifa siapkan di meja makan, thank's,” tulis Ifa di secarik kertas berwarna kuning.
Yogi melihat sepiring nasi goreng telur diatas meja dan segelas susu coklat. Ia sedikit terkejut, “Kok kebetulan banget ya, dia tahu aku suka susu coklat.” Yogi tersenyum heran lalu melangkah masuk ke kamar mandi.
***
Sudah 3 jam Ifa menunggu di depan pintu, teras depan rumah pun masih gelap. Ifa duduk dan bersandar di depan pintu rumah yang terkunci itu. Karena Ifa tak tahu nomer HP Yogi, ia pun bingung harus menghubungi siapa, Ifa pasrah saja menunggu di depan pintu.
“Nasib orang menumpang,” ucap Ifa sedih. Nyamuk mulai berlalu lalang di teras. Suara mobil Yogi pun terdengar, Yogi buru-buru keluar dari mobilnya.
“Maaf, kamu sudah menunggu dari tadi ya?” Yogi terburu-buru membuka kunci pintu.
“Lumayan Mas,” balas Ifa, ia mendesah kesal.
“Iya tadinya aku mau menaruh kunci ini dulu tapi karena terburu-buru aku jadi lupa, soalnya tadi Renita telepon dan meminta aku menjemputnya,” ujar Yogi.
Tanpa menanggapi perkataan Yogi, Ifa pun langsung masuk rumah dan menuju kamarnya. Ifa merebahkan diri di kasur tanpa ranjang itu, lalu duduk dan melepaskan sepatu high heels jenis platform itu.
“Aku sedikit kesal karena terlalu lama menunggu, tapi yasudahlah. Aku mau tidur sebentar menghilangkan amarahku.”
Cukup lama Ifa tertidur, ia terbangun tepat jam 12 malam. Ifa bangun lalu duduk di sisi tempat tidurnya. “Astaga... sudah jam segini, aku lupa masih ada tugas buat praktek besok.” Ifa bergegas bangun. Setelah mengambil beberapa buku, ia kemudian melangkah menuju ruang tengah. Ifa duduk di depan TV tanpa menyalakan TV tersebut karena khawatir Yogi terbangun jika mendengar kebisingan. Ifa membaca beberapa buku kuliahnya, sesekali ia mencatat.
“Kok lapar ya, hmm, enak nih kalau bikin mie godok,” kata Ifa. Ifa memutuskan memuaskan perutnya sebelum kembali melanjutkan mengerjakan tugas prakteknya, ia melangkah ke dapur dan mulai memasak. Saking asiknya ia memasak, Ifa tak sadar jika Yogi berada di belakangnya. “Ifa...” Panggil Yogi.
“Aaaaaaa, hantuuuu,” teriak Ifa kaget.Yogi kemudian tertawa. “Ini aku,” kata Yogi.
“Ya ampun Mas Yogi sejak kapan disini?” kata Ifa lega.
“Barusan kok, kamu sedang apa?” Yogi melongokkan kepalanya, melirik sepanci kecil di atas kompor.
“Ifa lapar Mas, ini bikin mie godok, Mas Yogi mau?" Tawar Ifa.
“Boleh deh,” balas Yogi. Ifa pun menyiapkan dua mangkok mie godok lalu membawanya ke meja makan. Ifa dan Yogi menyantap mie godok itu, untuk pertama kali mereka berada di satu meja makan secara bersama.
“Enak juga.” Yogi melahap mie buatan Ifa. Ifa hanya tersenyum.
“Oh, ya, Ifa, aku minta maaf ya tadi. Hmm, besok aku gandakan kunci rumah,biar kita bawa masing-masing saja.”
***
Pagi itu Ifa berangkat kuliah setelah Yogi berangkat dinas. Ifa mengunci pintu rumah lalu menyelipkan kunci rumah itu di bawah keset yang bertuliskan kata WELCOME, karena Yogi siang nanti akan menggandakan kunci. Ifa berjalan melangkah keluar rumah. Ifa tak lupa menyapa beberapa ibu-ibu yang ada di sekitar situ. Lalu berjalan ke arah jalan raya melewati lapangan.
Ifa mengamati kerapian pakaiannya, pagi itu Ifa tampak elegan dengan baju semi kemeja terusan hitam sampai di atas lutut dengan tali pinggang kulit dan sepatu high heels model gladiator. Sebenarnya Ifa bukan orang yang boros dan wajib fashionable tapi karena ia sekalian promosikan dagangannya yaitu sepatu dan pakaian korea jadi ia menggunakan sendiri barang sample yang akan dijualnya sekaligus sebagai promosi, karena konsumen Ifa sebagian besar adalah teman-teman kampusnya sendiri. Rambut Ifa kini pun di tata ala wanita korea untuk lebih menopang penampilannya.
***
Pagi itu lapangan ramai, serumpun tentara yang sedang melakukan olahraga rutin buyar dari suara instruksi sang pelatih. Ada yang menarik perhatian mereka pagi itu.
“Ada apa sih rame-rame? kok memandangi jalan semua?” Tanya Yogi pada Dani.  Dani pun melihat ke arah jalan.
“Oh itu Gi, mereka pada ngeliatin cewek lewat,” Dani memicingkan mata untuk dapat melihat lebih jelas apa yang menjadi bahan perhatian teman-temannya.
“Biasa para bujangan lihat yang mulus dikit udah ngiler,” Yogi terkekeh.
“Lho Gi, itu kan Dek Ifa.” Tunjuk Dani pada perempuan yang sedang jadi pusat perhatian teman-temannya itu. Yogi akhirnya menengok ke arah tunjukan Dani, dan ternyata benar dia Ifa.
“Dek Ifa!!” Teriak Dani sekuat tenaga hingga tenggorokannya hampir kering. Dani melambaikan tangan. Ifa pun menoleh dan tersenyum membalas lambaian tangan Dani.
“Berangkat kuliah ya Dek?” Teriak Dani lagi.
“Iya Mas..Bye...” Ifa membalas teriakan Dani sambil melambaikan tangan dan berlalu.
“Dani kamu kenal cewek tadi?” Tanya Rudi.
“Kamu Kenal Dan? tumben kamu kenal cewek cantik, hahahaaa,” Ejek Edo bercanda.
“Semprul kamu Do!” Dani menyikut Edo pelan.
“Ah, jangan marah dong Dani, aku mau dong di kenalin ama cewek tadi,” Edo merajuk.
“Enggak-enggak, bukan kelas kalian,” ujar Dani lalu pergi meninggalkan kumpulan ngiler itu. Yogi sedari tadi hanya terdiam dan menatap kepergian Ifa. Ia menelisik apa yang menjadi sesuatu di dalam bathinnya. Mencari jawaban keberadaan Ifa.
***
Malam menjelang meninggalkan matahari yang sudah terbenam. Ifa dan Yogi makan malam mengisi perut mereka yang sesungguhnya tak begitu lapar, Dani pun datang bertamu.
“Masuk Mas Dani,” teriak Ifa.
“Eh, lagi pada makan ya?” mata Dani berkililing diatas meja makan.
“Sini ikut makan Mas, Ifa ambilkan piring ya?” Ifa beranjak.
“Boleh Dek Ifa, kebetulan kompor di rumah lagi rusak jadi nggak bisa masak dan belum makan, hehee” kata Dani kegirangan.
“Kamu Dan, kamarin TV rusak, sekarang kompor rusak, besok sekalian tempat tidurmu rusak biar bisa tidur disini kan?" cibir Yogi.
“Boleh Gi idemu, besok aku tidur disini ya, diruang tamu juga boleh, hehee,” Dani cengengesan.
“Ah tidak-tidak, kamu ini alasan aja. Ada maunya,” tolak Yogi.
“Hehehe,” tawa Dani.
“Sudah-sudah, yuk makan dulu Mas, ini piringnya,” Ifa menyodorkan piring ke Dani. Mereka bertiga pun makan bersama.
“Wah enak ya masakannya Dek Ifa,” kata Dani sambil mengambil beberapa lauk hingga piringnya penuh.
“Dan, kamu kira-kira dong, masa semua di embat juga!” Yogi mendelik.
“Hehehe, iya maap-maap.” Dani memasang tampang melas, Ifa pun tersenyum kecil.
Setelah makan malam, Ifa membersihkan meja dan piring lalu masuk ke dalam kamarnya. Sementara Yogi dan Dani sedang ngobrol di depan TV.
“Napa Gi? kayaknya wajah kamu suntuk banget.” Dani melihat Yogi yang sibuk SMS-an dan mencoba menerka-nerka dari wajah Yogi.
“Ini Renita, tiap hari kerjanya ngambek mulu, Dan. Dikit-dikit ngambek, tadi aja dia minta jemput tapi aku nggak bisa, eh dia marah,” keluh Yogi.
“Ah, Renita lagi, Renita lagi, illfeel aku liat cewek tipe gitu, ngambekan, nyenengin enggak, ngeselin iya. Emangnya cowok itu supir antar jemput apa!” Ujar Dani sinis.
“Tau ah, oh, ya, Dan kamu besok siang ikut aku ya ke kampusnya Renita,” pinta Yogi.
“Ngapain? males ah!” tolak Dani tak berselera.
“Yah, please dong Dan. Temen Renita si Niar tuh tentara holic, dia minta Renita nyomblangin teman aku ama si Niar, temen Renita itu,” kata Yogi.
“Ogah ah, cewek jaman sekarang ni tahu aja ya tentara mau dapet remunerasi, ngejar-ngejar mulu!” Dani melengos.
“Ayolah Dan, tolongin aku, kamu nggak nanggapin si Niar nggak apa-apa deh, setidaknya Renita tahu kalau aku udah ada usaha ngajakin kamu,” bujuk Yogi lagi.
Keesokan harinya...
“Gi, ni kampus kok rame banget ya?” Dani celingak-celinguk di pelataran kampus sebuah Universitar Negri ternama.
“Iyalah Dan, namanya juga kampus, dulu aku kepengen kuliah tapi papaku suruh aku masuk tentara, huh!” Yogi teringat dan menjadi kesal.
“Ngomong-ngomong kamu janjian sama Renita dimana?” Tanya Dani, kakinya terasa pegal lama kelamaan berdiri.
“Tuh di Cafe kampus, sebelah sana,” tunjuk Yogi. Mereka berdua pun berjalan menuju Cafe bernuansa biru muda itu. Seorang perempuan yang sedang duduk disalah satu meja melambaikan tangan ke arah Yogi. “Nah itu si Renita, Gi.” Dani menangkap keberadaan kekasih Yogi. Yogi dan Dani pun melangkah ke meja tempat Renita.
“Kok jam segini baru nyampe? lelet amat sih,” bentak Renita ke Yogi, wajahnya bersengut.
“Iya tadi macet dijalan,” Yogi setengah kesal, ia baru saja sampai dan langsung mendapat makian.
“Oh, ya, ini Niar.” Renita mengenalkan temannya pada Yogi dan Dani.
“Yogi.”
“Dani.”
Yogi dan Dani pun duduk. Mereka berbincang-bincang ringan. Tampak Niar menaruh hati pada Dani, tapi Dani hanya menanggapinya biasa. Niar tak hentinya bercerita bahwa om-nya, kakak-nya, sepupu-nya juga seorang tentara, Niar sangat membanggakan diri hingga membuat Dani mulai jenuh duduk berlama-lama di kursi itu.
“Ssst, Ren! Tuh para mahasiswi kedokteran datang,” bisik Niar ke Renita.
Renita menoleh dan mencermati beberapa mahasiswi kedokteran yang selalu  menjadi buah bibir di kampus mereka. “Oh itu ya yang kamu ceritakan kemarin,” bisik Renita.
“Ada apa memangnya dengan mahasiswi kedokteran Ren?” Tanya Dani penasaran.
“Oh, itu Lho Mas, ada 4 orang mahasiswi kedokteran yang popular di kampus ini, tak sedikit mahasiswi lain yang ngikutin style mereka,” kata Renita.
“Apalagi yang bernama Latifa, dia paling oke dan keren style-nya dan menjadi buah bibir di kampus, body-nya bagus lagi, hmm... bikin iri aja,” kata Niar kagum.
“Latifa??” pekik Yogi kaget.
“Iya, namanya Latifa,” ucap Niar membenarkan.
“Yang mana sih?” Tanya Dani.
“Itu lho, yang di meja pojok sana,” tunjuk Niar sembunyi-sembunyi. “Itu kan itu ada 4 orang cewek tuh, nah yang namanya Latifa itu lho,” Niar menunjuk perempuan berpakaian semi kemeja terusan berwarna hitam dipadu dengan jas dokter berwarna putih.
“Lho itu kan D...” Tak sempat Dani meneruskan kata-katanya, Yogi sudah menginjak kaki Dani, mengisyaratkan jangan berkata apapun.
“Mereka itu beneran mahasiswi kedokteran?” Tanya Yogi hampir tak percaya.
“Iya Mas, masa Niar bohong. Lihat aja mereka semua pakai jas putih ala dokter-dokter gitu deh. Setahu Niar, mereka sekarang sedang koas, denger-denger dalam beberapa bulan ke depan, mereka sudah akan di sumpah dokter.”
Yogi dan Dani pun melirik ke arah Ifa yang sedang duduk bersama teman-temannya. Baik Yogi maupun Dani terkejut karena selama ini ia hanya tahu bahwa Ifa kuliah tapi tak pernah menanyakan ia mengambil fakultas apa. Yogi menelan ludah, merasakan nafasnya yang masih terkejut.
“Sebenarnya Latifa itu sebaya kita usianya lho Ren,” ucap Niar dengan suara pelan.
“Oh, ya, tapi kok dia sudah koas ya, sebentar lagi lulus jadi dokter.”
“Iyalah, kan Latifa dapat bea siswa karena IPK-nya tinggi.” Niar kembali memandang perempuan yang sedang ia bahas bersama Renita.
 Yogi melirik ke arah Ifa lagi, ia tak menyangka, Ifa yang awalnya ia vonis sebagai wanita kampungan ternyata sehebat itu.
***
“Mas Yogi sudah pulang?” Ifa menanyai Yogi yang baru saja masuk ke dalam rumah sore itu.
“Kamu juga sudah ada di rumah Fa?” Yogi balas bertanya.
“Sudah dari tadi kok Mas, oh, ya, tadi aku lihat Mas Yogi di kampus.”
Yogi sontak kaget, “Kamu lihat aku Fa?”
“Iya Mas, tapi maaf, Ifa nggak sapa, takutnya ganggu,” kata Ifa tersenyum. “Oh, ya, itu pacar Mas Yogi ya? Cantik Mas.” Ifa memasang senyum lebar di wajahnya.
“Hmm, iya,” jawab Yogi singkat. “Ifa, kamu dokter ya?”
“Masih koas kok Mas.”
“Kenapa tak pernah cerita?” Tanya Yogi lagi.
“Memangnya Mas Yogi pernah tanya?” Ifa melirik beberapa detik. Yogi terkejut. Ia menyadari jika ia memang tak pernah mau tahu tentang Ifa. Ifa melihat ekspresi Yogi yang berubah, Ifa pun tak tega. “Ifa hanya bercanda Mas,” Ifa tersenyum untuk melegakan hati Yogi. “Jangan dianggap serius ya.”
Yogi memaksakan senyumnya, ia masih tak enak hati pada Ifa. “Maaf ya Ifa.” Yogi merasa tulang-tulang penopang tubuhnya sedikit menggigil dan lemas dan merasa perlu untuk beristirahat, paling tidak. “Aku mau ke kamar dulu ya,” ujar Yogi akhirnya.
“Mas Yogi nggak enak badan?” Tanya Ifa khawatir.
“Nggak tahu Fa, kepala rasanya pening dan berat,” ujar Yogi sembari melangkah ke kamar dan hampir terjatuh. Ifa dengan sigap membantu menopang tubuh Yogi.
“Ifa bantu ke kamar ya Mas,” ujar Ifa prihatin, lalu membantu Yogi berjalan. Ifa membantu Yogi berbaring, lalu menyentuh dahi Yogi. “Duh, kok panas banget ya, sebentar ya Mas.” kata Ifa lalu berjalan ke kamarnya mencari obat penurun panas, tapi sayangnya tak ketemu. Ifa mengambil seteko penuh air putih dan gelas kemudian ia bawa ke kamar Yogi.
“Mas Yogi harus banyak minum air putih ya, hmm, persediaan obat Ifa kebetulan habis. Ifa beli dulu di apotik ya Mas, hmm, anu, Ifa boleh pinjam kunci mobilnya,” ucap Ifa ragu.
“Kamu bisa nyetir mobil Fa?” tanya Yogi lemah.
“Iya Mas, bisa.”
“Itu, ambil saja di laci itu.” Ifa pun membuka laci dan mengambil kunci mobil.
“Oh, ya, Mas Yogi sebaiknya ganti baju dulu. Pakai pakaian yang nyaman, sebaiknya yang menyerap keringat dan bahannya tidak terlalu tebal.” Ifa memberi saran.
“Iya Fa, terima kasih.”
Sebelum benar-benar melangkah pergi, Ifa berpikir sejenak. “Hmm, pasti Mas Yogi kesusahan untuk berdiri mengambil pakaian. Biar Ifa saja yang siapkan baju Mas Yogi. Ifa permisi buka lemari-nya Mas Yogi ya,” kata Ifa, kemudian membuka lemari Yogi dan memilihkan pakaian yang menurutnya nyaman di pakai Yogi. Pakaian itu diletakkan di sisi tempat tidur.
Setelah Ifa berangkat ke apotik dengan mobil Yogi, pemuda terdiam melihat pakaian yang di siapkan Ifa. Ifa sungguh berbeda, kebaikan hatinyalah yang membuat Yogi terkesan. Selama ini Ifa hidup mandiri, berbeda sekali dengan Renita, pikir Yogi.
***
Sekitar jam 2 malam Yogi terbangun dari tidurnya. Ia merasa badannya sudah enakan setelah Ifa memberinya obat penurun panas dan antibiotik. Yogi berusaha duduk, ingin mengambil gelas yang berisi air putih. Namun Yogi terkejut melihat Ifa tidur dilantai dengan posisi duduk, tubuhnya bersandar ke tembok yang di sangga dengan bantal. Ifa tertidur sambil memegang beberapa buku kuliahnya.
“Ifa,  bangunlah Fa,” panggil Yogi. Ifa terbangun, ia menusap-usap matanya, setelah menguasai kesadarannya dari mimpi tidurnya, Ifa menoleh ke arah Yogi dan tangannya spontan menyentuh dahi Yogi.
“Mas Yogi sudah baikan?” Tanya Ifa khawatir.
“Iya, aku sudah tak apa-apa Fa, kamu tidur saja di kamarmu. Aku sungguh tak apa-apa, kamu besok ada praktek pagi kan? sebaiknya kamu istirahat saja, Fa.”
“Syukurlah kalau Mas Yogi sudah baikan. Okey, Ifa mulai besok praktek di RST, Mas, tempat Ifa praktek lokasinya tak jauh dari sini.”
“Iya, istirahat saja Fa. Nanti kamu malah yang sakit.”
“Iya Mas.” Ifa memungut beberapa bukunya lalu melangkah keluar kamar Yogi. Tak berapa lama Ifa masuk lagi membawa segelas susu coklat, dan membuat Yogi keheranan. “Lho kenapa Fa?” tanya Yogi yang baru saja akan kembali merebahkan tubuhnya.
“Ifa nggak tega aja. Ini Ifa tinggalkan susu coklat sama roti ya Mas, siapatahu Mas Yogi lapar.” Ifa meletakkan segelas susu coklat dan roti itu sebelum kembali ke dalam kamarnya, namun saat Ifa sudah berada di ambang pintu, ia menoleh, “Kalau Mas Yogi butuh apa-apa, panggil Ifa ya Mas.” Yogi Ifa yang melangkah kian menjauh meninggalkan kamarnya kemudian melihat segelas susu coklat yang di letakkan Ifa. Yogi mengambil gelas itu, ia tersenyum dan langsung meminumnya sampai habis.
***
Keesokan harinya, Yogi ditemani Dani berobat ke RST (Rumah Sakit Tentara) yang tak jauh dari asrama mereka.
“Nomer antrian berapa aku, Dan?” Tanya Yogi.
“Nomer 41 Gi, masih lama. Ini baru sampai nomer antrian 23,” ujar Dani sambil memerlihatkan kertas antrian Yogi. Mereka berdua duduk  di ruang tunggu depan poli umum.
“Lama amat ya Dan, aku udah laper nih. Ke kantin dulu aja yuk Dan,” ajak Yogi.
“Iya Gi, paling juga kamu masih lama di panggilnya,” Dani menimpali. Telepon seluler milik Yogi berdering.
“Sebentar ya Dan, aku terima teleponnya Renita dulu.” Sekitar 6 menit Yogi menelpon kemudian mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon. Wajah Yogi suntuk, Dani sudah bisa menebak apa yang terjadi.
“Ada apa lagi sih Gi? Perasaan, kamu ama Renita ribut mulu,” ujar Dani setelah Yogi selesai menelpon.
“Iya Dan, Renita minta di jemput saat ini juga.” Yogi menghela kekecewaan di wajahnya.
“Lalu kamu nggak bilang kalau kamu lagi sakit dan sekarang lagi berobat?” Dani sewot.
“Udah Dan, tapi Renita bilang_ah paling cuman masuk angin biasa.”
“Tuh cewek, manusia atau monster sih, perasaan tiap hari kerjanya nggak jauh-jauh dari dua kata ini, kalau nggak marah ya ngambek, ah, aku deh yang rasanya pengen marah,” kata Dani kesal melihat sahabatnya di perlakukan seenaknya sama Renita.
“Kenapa nggak kamu putusin aja sih Gi?”
“Hmm, aku kasihan Dan.”
“Kasihan?? Kamu sebenarnya cinta atau nggak sih?” Tanya Dani.
“Entahlah Dan, seperti apa sih cinta itu? setahuku, jika aku suka sama cewek, aku tembak, jadian deh. Begitu ada masalah yaudah putus.”
“Yogi, Payah lu Gi, cinta itu ya bukan seperti itu. Cinta itu, saat kamu bertemu saja ada desiran halus di lubuk hati terdalam, merasakan keberadaannya saja rasanya dag-dig-dug, apalagi saling bertatapan mata rasanya kamu ingin menyentuhnya tapi kamu pun bisa salah tingkah dan canggung saat menatap mata seseorang kamu cintai. Ah payah kamu Gi!”
“Tau ah gelap, aku sudah laper. Ka kantin RST dulu yuk Dan,” ajak Yogi. Dua pemuda itu pun melangkah ke arah kantin melewati bangsal anak.
“Gi, itu sepertinya Dek Ifa?” tunjuk Dani pada seorang wanita berbalut jas dokter yang berjalan ke arah mereka.
“Iya, itu Ifa.” Yogi tak berhenti menatap Ifa yang berjalan semakin mendekat ke arahnya. Ia merasakan degub jantungnya berdetak tak harmonis, ada apa ini, kenapa hatiku jadi...
“Dek Ifa keren banget ya pakai jas putih,” decak kagum Dani. “Gi, kamu tiap hari serumah dengan Dek Ifa, nggak ada perasaan apa-apa gitu?” Dani menoleh ke Yogi yang mematung.
Yogi balas memandang Dani, “Hmm, ada perasaan Dan, ya sebatas perasaan kakak dengan adiknya. Apalagi Ifa sebatang kara, aku merasakan sesuatu akan itu, tapi aku pikir itu perasaan seorang kakak. Aku berharap setelah aku dan Ifa berpisah, dia mendapatkan seseorang yang lebih baik, Ifa itu anak yang baik, Dan.”
“Kalau gitu, ikhlaskan kalau Ifa sama aku Gi, hahahaa,” canda Dani.
“Ah, ogah kalau ama kamu Dan, hahaa,” balas Yogi.
“Hei, Mas Yogi, Mas Dani. Udah dari tadi ya disini?” Tanya Ifa yang menghampiri mereka.
“Lagi nunggu antrian Dek,” ujar Dani.
“Kamu praktek disini ya Fa?” Tanya Yogi.
“Iya mas, Ifa di bangsal anak...,” Ifa tersenyum. Tak lama ada seorang ibu ke arah Ifa.
“Dokter, infus anak saya apa sudah bisa di lepas?” Ibu bertubuh jangkung itu bertanya pada Ifa.
“Tunggu Dokter Hery dulu ya Bu, tapi saya mau lihat dulu keadaannya ya. Soalnya dokter Hery lagi di ruang operasi,” jawab Ifa.
“Mas Yogi, Mas Dani, Ifa tinggal dulu ya,” pamit Ifa kemudian pergi bersama ibu tadi ke bangsal anak. Lagi-lagi Yogi menatap kepergian Ifa. Bayangan punggung Ifa menari-nari dipikiran Yogi, sinar matanya mengambang tengah asik dalam batinnya namun Ifa tiba-tiba berbalik dan membuat Yogi terkejut.
“Mas Yogi, cepat sembuh ya!” teriak Ifa sembari mengacungkan jempolnya dan tersenyum yang menurut Yogi senyuman itu sangat manis. Yogi terkesima...
EDISI LENGKAP ada di buku Kisah Lembah Hijau 2 ðŸ‘ˆ

PENULIS : BUNGA ROSANIA INDAH

Bisa di order via aplikasi SHOPEE/BUKALAPAK/TOKOPEDIA (lapak cv harfeey dan lapak Buku Btp Official)/WA Penerbit 081904162092/WA BTP Jakarta 081327499949

Buka s.d jam 18.00 wib senin-jumat 📩
____________________________________

BEST SELLER


Untuk tanya harga/tanya ongkir/pemesanan KLIK LINK ðŸ‘‰ 
https://api.whatsapp.com/send?phone=6281327499949&text=Halo%20Admin%20Saya%20Mau%20Order%20Buku

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog